Kategori
Canda Desa Ibu Liputan Pariwisata Pedesaan Perjalanan Pribadi

Teu di dieu teu di Chiang Mai Thailand, Ema-ema naek motor pasti ruarrr biasah

Teu di dieu teu di Chiang Mai Thailand, Ema-ema naek motor pasti ruarrr biasah.

Predikat ‘Raja Jalanan’ dulunya identik dengan bus dan truk besar. Tetapi, di zaman milenial ini, banyak yang menyebut bahwa emak-emak lah yang menjadi rajanya jalan raya.

Hal ini seiring dengan banyaknya ibu-ibu yang berkendara di jalanan dengan segala tingkah absurdnya. Mulai dari menyalakan lampu sein tapi nggak segera berbelok, menerobos lalu lintas, hingga berkendara tanpa pelindung kepala.

Soal emak-emak bawa motor memang sering menjadi sorotan. Seperti deretan emak-emak pengendara motor berikut ini. Aksi mereka di jalanan bikin geleng-geleng kepala sekaligus mengundang tawa.

Stigma kaum perempuan mengendarai motor atau biasa disebut dengan istilah emak-emak, menjadi viral di Indonesia selama bertahun-tahun. Hal ini muncul karena beragam ulah yang mereka lakukan, seperti menyalakan sein kiri untuk belok kanan.

Namun ternyata, peristiwa itu tidak hanya terjadi di Indonesia. Dilansir dari laman Cartoq, seorang ibu di Thailand terekam kamera ETLE berulang kali melakukan pelanggaran lalu lintas.

Jenis pelanggaran yang dilakukan mulai dari tidak mengenakan helm, berkendara melawan arus hingga menerobos lampu merah. Dia juga terlihat beberapa kali berbicara di telepon, saat mengendari skuter miliknya

Menurut catatan polisi hasil pantauan rekaman kamera ETLE, emak-emak itu sudah melakukan lebih dari 200 pelanggaran lalu lintas.

Polisi lalu lintas akhirnya melacak skuter dan pemilik, lalu menyita kendaraan tersebut. Pelaku juga dikenakan denda  setara Rp26 jutaan, lebih mahal dari sepeda motor miliknya.

Selain denda, wanita tersebut juga dapat menghadapi konsekuensi lain seperti pencabutan SIM atau bahkan hukuman penjara.

Kategori
Anak Ayah Desa Ibu Kebijakan Keluarga Lingkungan Liputan Pagerageung Pedesaan Perjalanan Pribadi Tasikmalaya Tokoh

Melakukan misi diplomatik ke Pagerageung Tasikmalaya dalam rangka pelaksanaan pemerataan pembangunan dan pengembangan Manajemen Aset

Beberapa waktu lalu bersama ayahanda dan adik kandung tercinta melakukan misi diplomatik ke Pagerageung Tasikmalaya dalam rangka pelaksanaan pemerataan pembangunan dan pengembangan Manajemen Aset yang ada dalam hati, pikiran dan tindakan ayahanda Iskandar Natamihardja dan Ibunda Hindasah anggota keluarga besar almarhum Oewon Natamihardja dan Haji Abdul Aziz.

Salam dan Senyum manis pendidik perguruan tinggi yang mencoba tidak tinggi hati dari Tanjaknangsi Pagerageung Tasikmalaya dan guru pendidikan dasar menengah yang menjadi peletak fondasi pendidikan manusia dari Bandung Jawa Barat.

Jangan tanya ke mana aku pergi bersama ayahanda ku…. Karena kutahu engkau pasti menyangka aku akan mencalonkan diri di Pilkada serentak Tanjaknangsi Pagerageung Tasikmalaya ….

Berangkat ke Tanjaknangsi Pagerageung Tasikmalaya menengok aset Nini dan Aki (Uyut).

Indra keenam seorang anak pada orangtuanya yang tiba-tiba muncul pada diri sendiri dengan cara seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya.

Betapa tidak, hanya bisa mengucapkan syukur Alhamdulillah setelah melakukan verifikasi dan validasi data yang didampingi oleh wakil keluarga di kampung halaman. Pada kesempatan itu juga terdapat kesepakatan bersama antara keluarga di Bandung dan Tasikmalaya perihal Cost Benefit Analysis-nya.

Acara ini berakhir sore hari di Bandung dengan kemenangan di hati sanubari kita serta dalam rangka meningkatkan kualitas hidup masyarakat Pagerageung Tasikmalaya

Setelah puluhan tahun, sekarang bersama lagi dengan Kang Endang putra almarhumah wa iyot. Walau jarang bertemu ikatan kasih sayang itu terus terjaga diantara kita.

Teringat saat kecil sampai remaja, rumah panggung kayu almarhumah adalah pavorit saat liburan ramadhan dan lebaran saat itu. Kebaikan dan suasana rumah tersebut tidak akan membuat kita lupa terhadap kampung halaman yang kami cinta.

https://youtu.be/8hpHdwCv6Vc?si=47ZOOwl4f_lVzze0

Kategori
Desa Film Ibadah Ibu Kebijakan Keluarga Liputan Pahlawan Pedesaan Perjalanan Tokoh

Pahlawan Pedesaan: Ibu Andi Rabiah walaupun sudah lansia masih berani menantang ombak menjadi suster apung di daerah Pangkep Sulawesi Selatan

Sebagai pemuda angkatan 80-an, hari ini sangat tersindir dengan prestasi Ibu Andi Rabiah walaupun sudah pensiun dan berumur 64 tahun masih berani menantang ombak dalam arti yang sesungguhnya agar bisa menjaga dan membina kesehatan masyarakat kepulauan di daerah Pangkep Sulawesi Selatan… Berbahagialah putra putri beliau mempunyai ibu yang sudah lulus, diangkat dan diakui menjadi profesor kehidupan oleh media televisi seperti MetroTV dan SCTV.

“Perawat Indonesia akan mampu angkat Citranya di mata insan Dunia”. Sepenggal lirik yang ada di akhir lagu mars Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) bukan lagi hanya lirik lagu dan cita-cita yang hanya dinyanyikan. Tetapi Citra perawat mampu diangkat di mata dunia oleh sosok perawat yang mendapatkan julukan “Suster Apung” yaitu Ibu Rabiah. Andi Rabiah nama lengkap beliau, seorang sosok inspiratif perawat yang lahir pada tanggal 29 Juni 1957 di Sigeri Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep). Beliau mengabdikan diri menjadi seorang perawat sejak tahun 1977 dengan menjadi seorang perawat pegawai negeri sipil (PNS) di Puskesmas Liukang Tanggaya dengan jarak 256 Km atau 24-36 jam perjalanan laut dari Makassar dengan wilayah kerjanya meliputi 25 pulau.

Sosok beliau dikenal berkat sebuah film dokumenter yang berjudul “Suster Apung” karya Arfan Sabran seorang film director sekaligus Producer yang beberapakali mendapatkan penghargaan film lewat karya-karya film dokumenternya. Film dokumenter yang berdurasi 15 menit dan dirilis tahun 2006 yang juga sempat memenangi Eagle Award pada tahun yang sama ini mengisahkan perjalanan Ibu Rabiah yang merupakan sosok perawat yang melayani kesehatan Masyarakat di kepulauan. Beliau mencintai pekerjaanya dengan penuh hati meskipun menghadapi berbagai problematika. Selain menjadi film, sosok Ibu Rabiah juga dijadikan novel yang sama dengan judul “Suster Apung” oleh Arfan Sabran. Karya Film dan Novelnya layak sekali untuk ditonton oleh mahasiswa keperawatan maupun Insan Perawat lainnya.

17 Tahun berlalu dari film “Suster Apung” pada tahun 2022 Mahakarya Arfan Sabran tentang Ibu Rabiah berlanjut. Film dokumenter ini berjudul “Inninawa: An Island Calling” dan menyabet penghargaan menang Piala Citra pada Festival Film Indonesia pada tahun 2022 sebagai film dokumenter panjang terbaik mengalahkan empat nominasi lainnya.

Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) mendapatkan kesempatan menonton bersama di XXI Plaza Indonesia, Jakarta sebuah karya terbaru ini pada tanggal 29 Agustus 2023. Jika kita pernah menonton film “Suster Apung” sebelumnya, ini merupakan karya lanjutan dari film sebelumnya. Pada film ini menampilkan sosok perawat inspiratif yang 35 tahun masih mengabdi meskipun usianya telah senja dan telah pensiun. Pada film ini kita diperlihatkan bagaimana beliau melayani kesehatan Masyarakat di pos kesehatan desa (poskesdes) di Puskesmas Liukang Tangaya di Pulau Sapuka diusianya yang senja.

Kemudian pada pertengahan selanjutnya kita akan diperkenalkan oleh anak beliau yang bernama Mimi. Seorang tenaga kesehatan dengan profesi sebagai Bidan yang sedang hamil untuk menunggu kelahiran. Pada Film tersebut dikisahkan bahwa Mimi merupakan anak yang sudah ditinggal Bapaknya (Suami Ibu Rabiah) sejak belia. Kemudian Mimi juga ditinggal Ibu Rabiah untuk mengabdi ke kepulauan. Sehingga Mimi baru menganggap Ibu Rabiah sebagai Ibu pada waktu SD sekitar kelas tiga. Namun Mimi tenyata tidak ‘Kapok’ melihat bagaimana beratnya menjadi sosok seperti Ibunya. Mimi ternyata juga mengabdi menjadi Tenaga Kesehatan Bidan di Kepulauan, Di Pos Kesehatan Desa (Poskesde) di Pulau Sanane. Kisah Ibu Rabiah dengan Mimi ini dikisahkan dengan Apik oleh Arfan lewat karya terbarunya ini.

Keharuan menonton film ini terasa dibangku penonton melihat scene demi scene filmnya. Pada acara nonton bersama ini dihadiri oleh ketua umum DPP PPNI Dr. Harif Fadhillah, S.Kp., SH., M.Kep., MH. dan diakhir nonton film, dialog dilakukan bersama dengan Tokohnya, Ibu Rabiah dan Mimi serta Sutradara Arfan Sabran, dari Kementerian Kesehatan RI dan Ketua Umum DPP PPNI. Pada dialog film ini diharapkan menjadi inspirasi insan perawat muda untuk dapat terus mengabdi dan pemerintah dapat memperhatikan kesejahteraan tenaga kesehatan yang mengabdi di daerah terpencil dan kepulauan seperti ini dengan kebijakan-kebijakan yang ada dari pemerintah dan PPNI mengkawal kebijakan ini untuk bisa terlaksana.

Kategori
Anak Ayah Bandung Desa Ibu Kebijakan Keluarga Liputan Pagerageung Pedesaan Tasikmalaya

Cerita Pedesaan: Memasuki Bulan Ramadhan, orang tua mempunyai kebiasaan memberikan sarung kepada sanak saudara di Pagerageung Tasikmalaya

Ketika akan memasuki bulan ramadhan, orang tua mempunyai kebiasaan memberikan sarung kepada sanak saudara di Pagerageung Tasikmalaya untuk penyemangat ibadah. Sebagai bagian heritage keluarga, ikut berkontribusi dan berkolaborasi mewakili keluarga besar almarhum Haji Abdul Aziz dan Oewon Natamihardja☪

Masyarakat Indonesia memiliki tradisi tahunan, yakni berbagi hadiah kepada keluarga, saudara, dan kerabat lainnya. Kebiasaan memberikan hadiah ini merupakan bentuk ungkapan rasa syukur karena masih diberi kesempatan untuk berjumpa dengan hari yang suci Ramadhan atau hari raya Iedul Fitri.

Menurut ulama ada terdapat tiga golongan manusia pada umumnya dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan.

Yang pertama adalah mereka yang begitu sedih dengan kedatangan bulan Ramadhan. Mereka seperti orang yang mau mati kala mengingat segala kesenangan dan aktivitas duniawi mereka akan segera sirna, tidak bisa lagi menikmati hidangan lezat di siang hati, harus berhaus-haus menanti saat berbuka, harus ini harus itu dan sebagainya. Mereka begitu merasa sedih dengan datangnya bulan ini, yang terbayang adalah mereka akan merasa kehausan, merasa lapar, tak bisa lagi bebas sesuka hati berbuat ini dan itu, mereka khawatir pekerjaan yang mereka usahakan selama ini akan terganggu dan tidak optimal dengan datangnya perintah puasa. Maka inilah golongan yang paling merugi diantara seluruh umat manusia, na’udzu billah min dzalik.

Bulan yang seharusnya menjadi bulan pendulang pahala sebanyak-banyaknya, bulan yang seharusnya menjadi pencuci dosa dan jiwa yang kelam, justru menjadi momok yang begitu mengkhawatirkan bagi mereka, sungguh kita merugi jikalau dihati kita ada terbesit perasaan dan fikiran seperti itu.

Yang kedua adalah golongan yang biasa-biasa saja. Tidak tahu dengan keberadaan Ramadhan, tidak tahu bahwa Ramadhan sebentar lagi datang, tidak mau peduli mempersiapkan kesibukan di bulan Ramadhan. Sebaliknya mereka malah sibuk mempersiapkan kebutuhan-kebutuhan untuk idul fitri, melengkapi isi lemari es mereka, memenuhi lemari mereka dengan pakaian-pakaian baru, sementara mereka lupa akan esensi utama dari bulan Ramadhan sehingga tanpa sadar mereka pun melupakan bulan Ramadhan. Mereka tidak benci, tidak pula senang dengan adanya bulan ini, mereka menjadikan Ramadhan layaknya sebelas bulan lainnya, datang dan pergi begitu saja, maka merugilah golongan ini karena mereka melupakan keagungan bulan ini, mereka lupa dengan maghfirah yang begitu luas di dalamnya, maka bagaimana mungkin keagungan itu mau mengingat dan menghampiri mereka sementara mereka melupakannya.

Yang ketiga adalah golongan orang-orang yang begitu rindu dengan bulan Ramadhan, tiga bahkan enam bulan sebelumnya mereka sudah terngiang-ngiang dengan kedatangan bulan ini. Sibuk, semakin sibuk di hari-hari menjelang bulan Ramadhan, sibuk mempersiapkan segala hal agar mereka siap di kala Ramadhan tiba. Mereka menyiapkan mushaf untuk mereka khatamkan, kalau perlu mereka ganti dengan yang baru agar mendapat semangat baru ketika membacanya, atau paling tidak memperbaharui sampulnya, mereka siapkan baju terbaik mereka untuk di pakai kala menghadap rabbnya di hari-hari bulan agung ini, mereka cuci sarung-sarung mereka, mereka bersihkan mukena-mukena mereka.

Begitu gembira, itulah yang menggambarkan suasana hati mereka yang dipenuhi iman dan kerinduan akan ampunan. Target-target besarpun telah mereka susun untuk menjadi insan Ramadhan sejati, tak ada kesedihan bagi mereka melainkan kesedihan atas dosa-dosa dan kesedihan akan ditinggal pergi Ramadhan. Mereka faham betul akan tidak adanya bulan lain yang melebihi keagungan bulan ini. Inilah golongan yang dirindukan Ramadhan dan dirindukan syurga.

Adakah kita diantara tiga golongan tersebut? Masih kah hati ini rindu akan RahmatNya? Masihkah hati ini begitu gembira dengan kedatangan bulan Ramadhan?